Text
Epistemologi tasawuf nusantara: sejarah dan pemikiran Neo-Sufisme Kyai Ihsan Jampes (1902-1952)
Pada kurun waktu abad ke-19 dan awal abad ke-20, Jawa dan Madura tampaknya memang menjadi salah satu pusat munculnya tradisi intelektual keislaman, seiring dengan semakin terkonsolidasinya lembaga pesantren. Fenomena ini melengkapi munculnya sejumlah wilayah di dunia Melayu Indonesia sebagai pusat intelektual Islam masa sebelumnya, seperti Aceh abad ke-17, Palembang abad ke-18, Riau abad ke-19, dan beberapa wilayah lainnya. Sebut saja, misalnya, Nawawi al-Bantani (w. 1897 M) yang telah menulis kitab lebih dari 100 buah, Mahfuzh al-Tirmizi (w. 1919 M) yang telah menulis lebih dari 20 buah, Saleh Darat (w. 1903) yang telah menulis kitab lebih dari 11 buah, Hasyim Asy’ari (w. 1947) yang telah menulis kitab lebih dari 13 buah, dan Ihsan Jampes (w. 1952) yang telah menulis kitab lebih dari 4 buah. Menarik dicatat bahwa, berbeda dengan para ulama di dunia Melayu-Indonesia pada umumnya, Kyai Ihsan Jampes tidak pernah belajar Islam kepada/dengan guru-guru terkemuka di Timur Tengah. Kunjungan ke Makkah dan Madinah yang merupakan pusat keilmuan Islam pun hanya pernah dilakukan dalam rangka melaksanakan ibadah haji.
242000085 | U 297.45 BAR e | Perpustakaan Pusat UIN | Tersedia |
242000086 | U 297.45 BAR e | Perpustakaan Pusat UIN | Tersedia |
242000087 | U 297.45 BAR e | Perpustakaan Pusat UIN | Sedang Dipinjam (Jatuh tempo pada2024-10-25) |
Tidak tersedia versi lain