Text
Maqasid syariah
Metode penemuan hukum saja tidak cukup dalam menjawab masalah hukum Islam, sebab berpotensi menghasilkan putusan yang kontraproduktif dengan jiwa hukum Islam itu sendiri. Oleh karena itu, uṣūliyyūn mengembangkan maqasid sebagai pendekatan yang menuntun kegiatan ijtihad. Bahkan menjadi syarat bagi praktisi hukum Islam dalam mengemban tugas penemuan hukum, baik itu interpretasi hukum maupun konstruksi hukum. Syarat ini menjadi lebih ketat ketika masuk pada ranah siyāsah, terutama dalam penyusunan qanun (taqnīn) seperti yang dilakukan di Aceh.
Selain bagi praktisi hukum, maqasid juga penting bagi umat Islam karena aktivitas dan seluruh perilakunya harus sejalan dengan yang dikehendaki oleh al-Syāri‘. Masalahnya, manusia sebagai makhluk budaya tidak sepi dari kreasi budaya dan perilaku baru, lalu bagaimana kehendak al-Syāri‘ pada fenomena ḥadiṡah tersebut? Hal ini telah dibahas sejak dari masa Imam al-Ḥaramayn al-Juwaynī (w. 478 H/1085 M) sampai Imam al-Syāṭibī (w. 790 H/1388 M), tetapi belum memberi solusi aplikatif yang memadai. Lalu di abad modern, Ibn ‘Āsyūr memperbarui maqasid sehingga menghasilkan prosedur metodologis-epistemologis yang ia sebut qiyās maṣlaḥat kulliyyah. Prosedur inilah yang digali dan disajikan dalam buku ini.
233000097 | U 297.302 SAB m | Perpustakaan Pusat UIN | Sedang Dipinjam (Jatuh tempo pada2024-10-31) |
233000098 | U 297.302 SAB m | Perpustakaan Pusat UIN | Sedang Dipinjam (Jatuh tempo pada2024-11-15) |
Tidak tersedia versi lain